- / / : Untuk Kerjasama dan Iklan, Hub. WhatsApp No. 081284826829

AIDS, Puasa dan Pengendalian Hawa Nafsu

Oleh: Arda Dinata

Email: arda.dinata@gmail.com

AIDS, awalnya ia membunuh orang-orang homoseksual. Kemudian pecandu narkotika, orang-orang Haiti dan penderita hemofilia. Kini ia memangsa siapa saja ---Pria, wanita, suami, istri, dan bahkan anak-anak--- tak perduli apapun gaya hidup dan aktivitas seksual mereka. Ia mewabah di bebarapa negara termasuk Indonesia.

Menurut Estimasi WHO, di Indonesia terdapat 52.000 kasus di masyarakat pada tahun 1999. Sedangkan tahun 2001 estimasi meningkat menjadi 80.000-120.000 kasus. Data terbaru jumlah kumulatif pengindap infeksi HIV dan kasus AIDS di Indonesia sejak pertama kali dilaporkan hingga 30 September 2002 mencapai 3.374 kasus dengan rincian sebanyak 2.417 orang terkena infeksi HIV dan 286 orang mengindap AIDS. Sementara itu, selama rentang waktu antara Januari hingga 30 September 2002, terdapat 799 kasus dengan rincian 513 kasus infeksi HIV dan 286 kasus AIDS (PR, 7/11/02).

Virus HIV (penyebab AIDS) ini, sebenarnya bukanlah virus yang ganas. Penularannya pun tidak semudah seperti penularan virus influenza. Memang tidak dipungkiri kalau bibit penyakit AIDS ini terdapat pada semua cairan tubuh penderita AIDS. Tapi, yang terbukti berperan dalam penularan AIDS ialah air mani (sperma), cairan alat kelamin wanita dan darah.

Secara demikian, cara penularan AIDS terjadi terutama melalui: Pertama, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi AIDS. Cara hubungan seksual melalui alat kelamin, dubur maupun mulut sangat rawan untuk penularan AIDS. Kedua, transfusi darah yang sudah terinfeksi virus AIDS. Aplikasinya bisa melalui jarum suntik dan alat tusuk lainnya (tusuk jarum, tatto, tindik telinga) yang bekas dipakai oleh orang yang terinfeksi virus AIDS. Ketiga, ibu hamil yang terinfeksi virus AIDS dapat menularkan kepada janin dan bayinya.

Oleh sebab itu, langkah penting selain pengobatan, perawatan dan dukungan, adalah pencegahan terjadinya penyakit HIV/AIDS itu sendiri. Dan ini tentunya sangat relevan bila kita jadikan momentum ibadah puasa di bulan Ramadhan ini sebagai bulan kesadaran dalam pengendalian penyebaran HIV/AIDS. Karena terjadinaya HIV/AIDS pada awalnya disebabkan oleh lemahnya kita dalam mengendalikan hawa nafsu (terutama nafsu seksual).

Menurut Dr Yusuf Qardhawi, salah satu rahasia yang bisa direngkuh oleh seseorang apabila ia melaksanakan ibadah puasa (terutama di bulan Ramadhan), adalah untuk menguatkan jiwa. Dalam hidup ini tak sedikit kerja manusia didominasi justru oleh hawa nafsunya.Oleh karena itu dalam Islam dianjurkan untuk mengendalikan hawa nafsu tersebut. Lewat ibadah puasa di bulan Ramadhan ini, jiwa seorang muslim akan dikuatkan-Nya. Artinya kita dapat melakukan pengendalian/pencegahan terhadap penularan/penyebaran HIV/AIDS dengan melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Sementara itu, nafsu diartikan sebagai keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yang kuat berupa dorongan batin untuk berbuat yang kurang baik; kemarahan; kepanasan hati. Di sini, seakan-akan kata nafsu selalu menggiring alam pikiran kita kepada konotasi yang rendah, primitif, dan negatif. Apakah hal ini memang benar seperti itu? Lalu, bagaimana konsep nafsu menurut ajaran Islam?

Dalam beberapa ayat Alquran (al Nisa’: 135; Shaad: 26; al Najm: 3; al Naazi’aat: 40; al A’raf: 176; al Kahf:: 28; Thaaha: 16; al Furqaan: 43; al Qashash: 50; al Jaatsiyah: 23), ternyata kesemua kata al hawaa (hawa nafsu) mengandung pengertian tentang sesuatu hal yang cenderung menguasai, memperbudak, melanggar batas, berbuat tidak bermoral, mencari kenikmatan sesaat dan mengakibatkan penyesalan.

Hawa nafsu memang diakui selalu mengajak kepada sesuatu yang dianggap nyaman dan nikmat, maksiat, kesia-siaan dan condong untuk memuaskan diri pada kehidupan duniawi. Tetapi, yang jelas, Allah Azza wa Jalla tidak pernah menjadikan sesuatu itu secara sia-sia. Begitu juga dengan hawa nafsu, sekalipun hawa nafsu ini selalu mengajak manusia kepada perbuatan amoral, namun dia merupakan satu-satunya perangkat bagi manusia dalam melangsungkan hidupnya di dunia ini (baca: nafsu makan, minum, seksual, dll). Dan Allah sendiri selalu menekankan terhadap manusia agar takut kepada-Nya dan tidak memperturutkan hawa nafsu. Dua posisi inilah yang akan menghadapkan manusia pada ujian dan tantangan yang harus dihadapinya di dunia.

Jenis-Jenis Nafsu

Dalam Alquran Allah SWT telah menjelaskan tentang jenis-jenis nafsu yang dimiliki manusia, yaitu Muthmainnah, Lawwamah dan Ammarah Bissu’.

Pertama, nafsu Muthmainnah. Nafsu ini tenang pada suatu hal dan jauh dari keguncangan yang disebabkan oleh bermacam-macam tantangan dan dari bisikan syaitan. Apabila nafsu tenang bersama Allah, tentram ketika mengingat-Nya, selalu merindukan-Nya dan senang ada di dekat-Nya, itulah nafsu Muthmainnah. Dialah nafsu yang di saat ajal menjelang, akan dikatakan kepadanya: “Hai nafsu (jiwa) yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30).

Untuk itu, jangan dibiarkan nafsu yang selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang mendapat rahmat dari Allah (baca: QS. 12: 53). Agar nafsu itu mendapat rahmat Allah, maka manusia harus beristiqamah/ berteguh pendirian terhadap Allah (baca: QS. 41: 30), selalu ikhlas dalam setiap amal dan selalu ingat bahwa diri ini akan kembali kepada-Nya (baca: QS. 23: 57-61), selalu beriman dan bertaqwa agar mendapat ketenangan dan kebahagiaan hidup (baca: QS. 10: 62-64).

Kedua, nafsu Lawwamah. Yakni nafsu yang tidak pernah konsisten atau stabil di atas satu keadaan. Ia seringkali berubah –baik pendirian/ perilaku--. Ia antara ingat dan lalai, ridha dan marah, cinta dan benci, serta taat dan berdoa kepada Allah atau bahkan berpaling dari-Nya. Jadi, nafsu ini tidak/ belum sempurna ketenangannya, karena selalu menentang atau melawan kejahatan tetapi suatu saat teledor dan lalai berbakti kepada Allah, sehingga dicela dan disesalinya.

Allah berfirman dalam Alquran surat Al Qiyaamah: 1-5, “Aku bersumpah dengan hari kiamat; dan Aku bersumpah dengan nafsu lawwamah (jiwa yang menyesali dirinya sendiri). Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulang?; Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun kembali jari-jarinya dengan sempurna; Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus.”

Ketiga, nafsu Ammarah Bissu’. Yaitu nafsu yang tercela, sebab ia memiliki watak selalu mengajak ke arah kezaliman. Tidak seorangpun yang terlepas dari watak buruk nafsu ini, kecuali orang yang memperoleh pertolongan Allah SWT sebagaimana kisah istri Al-Aziz, penguasa Mesir. “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusup: 33).

Dan Allah pun berfirman, “Sekiranya tidak karena Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya.” (QS. An-Nur: 21). Singkatnya, nafsu Ammarah Bissu’ ini selalu melepaskan diri dari tantangan dan tidak mau menentang, bahkan patuh tunduk saja kepada nafsu syahwat dan panggilan syaitan.

Terlepas dari Perangkap Nafsu

Pada diri manusia, sebenarnya nafsu itu hanya ada satu, tetapi nafsu ini akan menjelma menjadi Ammarah, lalu Lawwamah dan yang akhirnya meningkat menjadi Muthmainnah. Artinya nafsu Muthmainnah inilah puncak kesempurnaan dan kebaikan nafsu manusia.

Ahmad Faried dalam kitab Tazkiyatun Nufuus wa Tarbiyatuha Kama Yuqorriruhu Ulama’ Us-Salaf (Menyucikan Jiwa: Konsep Ulama Salaf), diungkapkan bahwa nafsu Muthmainnah, selalu berteman dan berada di samping para malaikat. Dengannya kita mendapatkan bimbingan dan dorongan pada kebenaran hakiki yang mengiasi dengan nuansa keindahan bagi kehidupan. Kehadirannya mampu membentengi diri dari setiap keinginan berbuat jahat dan mampu merefleksikan segala bentuk kejahatan beserta akibat dan sanksi-Nya, agar ia mau menjauhinya. Jadi, segala perbuatan manusia yang semata-mata untuk ubuddiyah kepada Allah, maka itu semua bermuara dari nafsu Muthmainnah.

Nafsu Muthmainnah bersama-sama dengan malaikat mengemban tugas untuk memberi penyegaran jiwa manusia dengan: tauhid, ihsan, kebaikan, takwa, tawakal, tobat, kembali pada jalan Allah, tidak panjang angan-angan, mempersiapkan bekal untuk menyongsong kematian dan hidup sesudahnya.

Sementara itu, nafsu Ammarah, berada dalam garis komando setan yang dijadikannya sebagai pendamping setianya. Ia akan selalu memberikan janji-janji kosong, mengisinya dengan kebatilan, mengajaknya berbuat jahat dan menghiasi kejahatan itu sebagai sesuatu yang menarik baginya. melalui kata-kata manis yang beracun, otak kita dikendalikannya sehingga seolah-olah kita akan hidup selamanya.

Di sini, peran setan bersama-sama dengan para simpatisannya (orang-orang kafir) akan mempengaruhi nafsu Ammarah agar melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kebaikan-kebaikan yang diperbuat nafsu Muthmainnah.

Berdasarkan interprestasi demikian, tugas terberat yang harus dipikul dan menyulitkan bagi nafsu Muthmainnah adalah membebaskan suatu perbuatan dari campur tangan setan dan nafsu Ammarah. Namun demikian, untuk melawan pengaruh nafsu Ammarah atas hati orang Mukmin, adalah dengan menyiasati dan tidak memperturutkan kemauan-kemauannya, sebagaimana sabda Rasulullah saw berikut: “Orang yang pandai ialah orang yang mau menyiasati nafsunya dan beramal untuk bekal kehidupan sesudah mati. Dan orang yang lemah ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan terhadap Allah (dengan angan-angan kosong).” (HR. Imam Ahmad).

Pada konteks ini, kita perlu mengadakan introspeksi diri atas nafsu-nafsu yang menyelimuti diri setiap Mukmin. Dalam hal ini, Nabi saw bersabda: “Hisablah dirimu sebelum dihisab dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum ditimbang (di hadapan Allah). Sebab lebih ringan bagimu, jika kamu mau menghisab diri pada hari ini, daripada menunggu nanti diperhitungkan pada hari penghisaban dan penimbangan, yaitu pada hari pertemuan besar antara para makhluk dengan Tuhan mereka.” (HR. Imam Ahmad dari Umar bin Khathab ra.).

Menurut Ahmad Faried, ada dua cara untuk mengadakan penghisaban (pengevaluasian) terhadap nafsu, yaitu sebelum dan sesudah melakukannya. (1) Hendaknya seseorang berhenti untuk berpikir ketika pertama kali ia bermaksud memulai pekerjaan. Dan jangan tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum jelas baginya bahwa keputusannya itu tidak berdampak negatif. Imam Hasan al-Bashri berkata: “Semoga Allah merahmati hamba-Nya yang mau berpikir sejenak ketika ia mau melakukan perbuatan, jika memang perbuatan itu karena Allah, maka ia teruskan dan jika karena selain-Nya, maka ia batalkan.”

(2) Mengevaluasi diri setelah beramal. Dalam hal ini ada tiga tingkatan evaluasi. Pertama, mengevaluasi nafsu atas ketaatan yang dilakukannya, tetapi ia kurang dalam memenuhi hak Allah dalam perbuatan itu. Sehingga dalam pelaksanaannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adapun hak Allah dalam ketaatan itu ada enam perkara: ikhlas berbuat, nasihat (mengharap kebaikan) karena Allah, mengikuti ajaran Rasul saw, menampakkan sisi ikhsan dalam beramal, mengakui karunia Allah atasnya dan setelah itu mengakui akan kekurangannya dalam melakukan perbuatan itu. Maka dihisablah dirinya sendiri dari kriteria yang ditetapkan-Nya tersebut.

Kedua, menghisab diri atas setiap perbuatan yaang apabila ditinggalkan lebih utama daripada dikerjakan. Ketiga, menghisab diri atas suatu perbuatan yang boleh (mubah) hukumnya, sebab ia telah melakukannya. Terlepas dari apakah ia melakukannya karena Allah dan kehidupan akhirat, supaya beruntung, ataukah demi mengejar kebahagiaan dunia yang semu dan temporal ini, sehingga ia akan menyesal di hari kemudian?

Sementara itu, dalam bahasa Ibn al Jauziy dalam kitab Dzamm al Hawaa (Celaan Terhadap Hawa Nafsu), untuk terlepas dari perangkap (nafsu) bagi orang yang terjerumus di dalamnya adalah dengan niat dan tekad yang kuat untuk meninggalkan sumber penyebabnya. Caranya dengan bertahap, sedikit demi sedikit meninggalkan biangnya. Dan menurut beliau ini memerlukan kesabaran dan perjuangan dengan bantuan tujuh perkara. Yaitu (1) Merenung dan berfikir kembali bahwa sesungguhnya manusia itu diciptakan bukan untuk menjadi budak nafsu. Manusia diciptakan agar bisa mempertimbangkan akibat segala sesuatu dan beramal saleh untuk bekal kehidupan akhirat.

(2) Hendaklah dia memikirkan akibat yang akan ditimbulkan oleh hawa nafsu. Sudah berapa banyak akibat hawa nafsu, beberapa keutamaan menjadi musnah. Sudah berapa banyak karena nafsu, manusia terjerumus dalam lembah nista. Berapa banyak makanan yang menyebabkan penyakit. Berapa banyak pula akibat kekhilafan, reputasi menjadi pudar, malah mengakibatkan cemoohan dan hukuman. Sayangnya orang yang dikuasai hawa nafsu kerap menjadi buta dengan apa yang ada di sekelilingnya.

(3) Hendaklah orang yang berakal membayangkan bahwa dia baru saja memenuhi syahwatnya dan membersitkan dalam benaknya akibat dari perbuatan itu. Kemudian dia membayangkan lagi bahaya yang muncul setelah kenikmatan yang hanya sesaat (itu dilakukan). Maka dia akan menjumpai bahaya yang ada jauh lebih besar dibanding dengan kenikmatan hawa nafsu (yang dirasakan).

(4) Hendaklah dia membayangkan seandainya syahwat itu dilakukan orang. Lalu dia memikirkan akibat dari syahwat tersebut di dalam pikiran, seandainya aib itu menimpa dirinya.

(5) Hendaklah dia memikirkan kembali kenikmatan yang sedang dia kejar. Niscaya akal memberitahu kepadanya bahwa kenikmatan itu sebenarnya tidak berarti apa-apa. Hanya memang mata hawa nafsu telah buta (sehingga tidak obyektif dalam menilai sesuatu).

(6) Hendaklah dia memikirkan bagaimana terhormatnya ketika menang dan hinanya ketika kalah. Sesungguhnya tidak seorangpun yang berhasil menguasai hawa nafsunya melainkan dia akan merasa kuat kemenangannya. Dan tidak seorangpun yang berhasil ditaklukkan oleh hawa nafsunya melainkan akan merasa hina dan tidak ada harganya.

(7) Hendaknya membayangkan faedah tidak menuruti hawa nafsu. Di anatara faedah mengekang hawa nafsu adalah mendapatkan nama baik di dunia, selamatnya jiwa dan badan serta pahala yang telah dijanjikan di akhirat. Sebaliknya apabila dia mengumbar hawa nafsu, maka akan mendapatkan kebalikan dari faedah tersebut. Ada baiknya, jika seseorang membayangkan kondisi di atas, seperti kondisi yang dialami oleh Nabi Adam (baca: kasus memakan buah khuldi) dan Nabi Yusup as (baca: kasus bujuk rayu Zulaikha). Yang satu mengenai kenikmatan sesaat dan yang satu lagi mengenai kesabaran yang dijalankan dengan penuh derita, namun kemuliaan yang diterima setelah itu.

Yang jelas, hemat penulis pencegahan HIV/AIDS ini sesungguhnya bisa dilakukan dengan baik, seandainya kunci utamanya adalah kita mematuhi semua aturan Allah SWT, yakni dengan mengendalikan hawa nafsu. Artinya sebagian kecil pelanggaran yang dilakukan manusia saat ini, telah membuktikan bahwa perzinaan adalah pebuatan yang tidak diridhai-Nya. Dampaknya bagi kita buah keburukan yang diperoleh, bukan saja di akhirat kelak melainkan juga ketika masih hidup di dunia (baca: HIV/AIDS). Karena itu, tidak berlebihan Allah mengingatkan kepada kita dalam Alquran, yang artinya:“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32). Wallahu’alam.***

Penulis adalah Pendiri Majelis Inspirasi Alquran & Realitas Alam (MIQRA) dan Kontributor Tabloid Manajemen Qolbu (MQ) Bandung.

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

DAPATKAN ARTIKEL LAINYA TENTANG:

  1. Menjadi Penulis Sukses, Mendapatkan Harta Karun, Menulis Buku, bisnis internet. Klik di bawah ini: http://www.penulissukses.com?id=buku08

  1. Dapatkan E-Book (berbahasa Indonesia) di bawah ini:

- Cara Mudah, Cepat dan Praktis Nampang di Internet / Dasar-Dasar HTML.

- Panduan Praktis Membangun Situs Dinamis dan Interaktif dengan PHP

- Cara Mengirim Puluhan, ratusan Bahkan Ribuan Email dalam Sekali Klik.

- Download GRATIS Ringkasan/Summary buku "KUNCI EMAS, Rahasia Sukses Membangun Kekayaan dan Kesejahteraan", Karya: L.Y. Wiranaga, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama.

http://www.megabuku.com?ref=1788

Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

E-mail: arda.dinata@gmail.com

Hp. 081.320.476048.

http://www.miqra.blogspot.com